Ini Tulisan Pesan Moral Pada Prasasti VI di Astana Gede Kawal, Kepada Masyarakat di Masa Kerajaan Galuh

20 Juni 2024, 07:23 WIB
Prasti IV di Asatana Gede Kawali yang ada tulisan pesan moral /

KABAR CIAMIS,- Di areal lokasi Situs Astana Gede Kawali,  Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Selain ada Batu Palinggih yang menyimpan mitos dan misteri.

Ada juga  prasasti VI yang  mempunyai keunikan tersendiri. Pasalnya ada dua poin tulisan dalam prasasti tersebut yang menginformasikan tentang kehidupan masyarakat pada masa Kerajaan Galuh.

Prasasti VI tersebut merupakan prasasti terakhir yang ditemukan dan juga dievakuasi pada tanggal 3 Oktober 1995 oleh salah satu juru pelihara. Didalamnya terdapat tulisan aksara Sunda kuno atau Kaganga dan juga simbol lambang Bunga Cakra Rahayu Kencana.

Budayawan Kawali dan juga petugas Dinas Pariwisata Ciamis, Enno menyebut, Prasasti VI itu merupakan prasasti yang ditemukan terakhir kali atau paling terbaru. Itu ditemukan tahun 1995 oleh salah satu juru pelihara.

Didalamnya itu, kata dia, yang memang prasasti itu sama menggunakan media batu jenis andesit. Cuman yang uniknya, prasasti VI ini ada dua poin yang didalamnya menginformasikan. Pertama itu adanya simbol kembang atau Bunga Cakra Rahayu Kencana.

"Jadi sebelum pahatan atau tulisan didalam prasastinya ada simbol Kembang Cakra Rahayu Kencana yang sudah dimodifikasi. Jadi, kembang Cakra itu sudah rapih di pahatnya," katanya, Rabu (19/6/2024).

Pada poin pertama ini, lanjut dia, kalau yang ada simbol lambang Kembang Cakra Rahayu Kencana itu ada dua di Astana Gede Kawali itu, yakni di Prasasti I dan Prasasti VI.

"Kalau Prasasti I itu cuma ditulis atau ditorehkan dipahat di atas batunya itu tidak serapih di Prasasti VI. Artinya pada waktu itu, Prabu Niskala Wastu Kencana menambah atau memperindah lagi sistem-sistem atau aturan yang sudah ada. Jadi lebih terstruktur," ucapnya.

Makanya dalam naskah kuno Sunda pada zaman Prabu Niskala Wastu Kencana adanya kalimat Gemuh Pasundan, artinya disaat itulah titik Kerajaan Galuh mencapai zaman keemasannya, yakni zaman Prabu Niskala Wastu Kencana.

Kemudian, lanjut dia, yang poin kedua ada tulisan yang menginformasikan tentang bahwa dulu di tahun 1371 di Kawali, pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana menjabat Raja disana.

Raja Prabu Niskala Wastu Kencana saat itu menekankan bahwa masyarakat Sunda dan Galuh pada waktu itu, sangat dilarang untuk berbuat aktifitas yang berhubungan dengan judi.

Makanya, Lanjut dia, dalam bahasanya salah satu kalimatnya adalah 'ini petinggal nu atisti ayama nu ngisi Dayeuh ieu ulah botoh bisi kokoro'.

"Artinya begini, jadi ini petinggal dari atisti dari rasa yang atisti. Artinya ini peninggalan dari para leluhur yang mempunyai ilmu pengetahuan tinggi, yang atisti itu yang berbudi atau yang bijak," ucapnya.

"Kemudian ayama nu ngisi Dayeuh ieu, jadi kelak siapapun yang menghuni kota ini atau negeri ini dalam artian Galuh, ulah botoh bisi kokoro atau jangan judi nanti bisa sengsara," tambah Enno.

Enno mengatakan, penekanan botoh disana itu dalam artian menekankan tentang judinya. Botoh itu memang mempunyai dua arti, dan arti secara umum itu lebih keserakahan.

"Tapi pada waktu itu, dikarenakan Kerajaan Galuh ini ada satu peristiwa yang membuat leluhurnya itu trauma, dan itu tidak boleh terjadi lagi," katanya.

Karena, pada waktu zaman Ciungwanara itu terjadi peperangan antar saudara. Hampir Kerajaan Galuh mengalami terjadinya krisis, terus terjadinya perang saudara. Karena adanya judi atau sabung ayam pada waktu itu. Karena yang dipertaruhkan pada saat itu kerajaan.

"Karena ada peristiwa tersebut, pendahulunya itu melakukan peristiwa itu. Jadi pada zaman Kawali, Prabu Niskala Wastu Kencana sangat menekankan kepada masyarakat dan keluarga kerajaannya untuk tidak melakukan aktifitas yang berhubungan dengan judi," ucapnya.

Pasalnya, perlu diketahui setiap perbuatan maksiat itu diawali atau berunsur keserakahan semuanya, seperti zina dan judi. Jadi intinya dari keserakahan.

"Jadi ada korelasinya dengan masa saat ini dengan adanya prasasti itu. Bahkan saya suka menekankan kepada generasi muda bahwa perbuatan ini sudah dicontohkan oleh leluhur kita dari zaman dulu bahwa jangan melakukan itu," ucapnya.

"Karena leluhur kita sudah tahu bahwa yang namanya botoh atau judi ini, pasti akan terjadi bahkan terus terjadi. Di contohkan oleh legenda Ciungwanara sampai-sampai seorang raja itu tidak kuat, apalagi kita masyarakat biasa," pungkasnya

Editor: Endang SB

Tags

Terkini

Terpopuler